Review Buku Deru Sunyi: Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu – Sebuah Surat Cinta Paling Sunyi untuk Ibu

Review Buku Deru Sunyi: Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu – Sebuah Surat Cinta Paling Sunyi untuk Ibu (Foto: Gramedia)
Review Buku Deru Sunyi: Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu – Sebuah Surat Cinta Paling Sunyi untuk Ibu (Foto: Gramedia)

BUDAYABACAONLINE.MY.ID - Ada buku-buku yang ditulis untuk menghibur, ada pula yang ditulis untuk menginspirasi. Namun, Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu karya Deru Sunyi adalah buku yang menembus jauh ke dalam hati, mengaduk emosi, dan meninggalkan keheningan panjang setelah halaman terakhir ditutup. Buku ini bukan sekadar kumpulan kata, melainkan luapan rasa, doa, dan air mata seorang anak kepada sosok yang menjadi pusat semesta: ibu.

Deru Sunyi menulis dengan kejujuran yang langka. Ia tidak berusaha tampak kuat, tidak bersembunyi di balik kata-kata indah. Justru dalam kerentanannya, buku ini menemukan kekuatannya. Lewat setiap kalimat, pembaca diajak menyelami perasaan kehilangan, kerinduan, dan cinta yang tak terucapkan—perasaan yang mungkin pernah kamu rasakan, tapi sulit diungkapkan.

Cinta Tak Bersyarat Seorang Ibu

Buku ini berawal dari satu kalimat yang menghantam perasaan: “Aku tetap hidup, tetapi rasanya sudah mati berkali-kali.” Dari sana, pembaca langsung dibawa masuk ke dunia batin sang penulis yang penuh luka, tetapi tetap disinari oleh satu hal—cinta seorang ibu. Deru Sunyi menuliskan bahwa di tengah kehidupan yang kejam, yang mematahkan dan menelannya bulat-bulat, hanya ibunya yang menjadi alasan untuk bertahan.

Cinta seorang ibu digambarkan bukan sebagai sesuatu yang megah, melainkan lembut, diam, tapi selalu hadir. Saat dunia menyebutnya “pecundang”, hanya ibunya yang tetap memanggil “anakku”. Hubungan itu menjadi pusat dari seluruh isi buku—sebuah pengingat bahwa kasih ibu tidak pernah pudar, bahkan ketika segalanya terasa hancur. Buku ini membuat kamu sadar bahwa dalam hidup yang penuh kegagalan dan penolakan, ada satu pelukan yang selalu siap menerima tanpa syarat: pelukan ibu.

Kejujuran Emosional yang Menyentuh

Salah satu kekuatan terbesar dari Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu adalah kejujuran emosionalnya. Deru Sunyi menulis tanpa topeng, tanpa berusaha terlihat tegar. Ia mengakui bahwa dirinya rapuh, sering kalah, dan mudah menyerah. Namun, justru di situlah letak keindahannya. Buku ini tidak berusaha mengajarkan bagaimana cara menjadi kuat, tetapi mengajak kamu untuk berdamai dengan kelemahan dan luka.

Dalam setiap bab, kamu akan menemukan refleksi tentang rasa sakit yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan logika. Misalnya, ketika sang penulis mengatakan bahwa dirinya bukan anak yang kuat, hanya pandai menyembunyikan rapuh di balik kalimat, “Semua baik-baik saja.” Kalimat sederhana itu mencerminkan realitas yang dialami banyak orang: berusaha tampak baik di hadapan dunia, padahal hati tengah berantakan.

Gaya Bahasa yang Puitis dan Dalam

Deru Sunyi memiliki gaya penulisan yang khas—puitis, reflektif, dan penuh makna tersembunyi. Setiap kalimat terasa seperti serpihan puisi yang disusun dari luka dan kasih. Ia menulis dengan ritme yang tenang, seolah mengajak kamu untuk ikut berjalan dalam perjalanan batinnya yang sunyi. Tidak ada kata yang berlebihan, namun setiap kata memiliki bobot emosional yang kuat.

Buku ini juga terasa seperti perpaduan antara surat, jurnal pribadi, dan doa. Ada bagian-bagian yang membuat kamu ingin berhenti sejenak, menarik napas, dan merenung. Bahkan, beberapa kalimatnya begitu kuat hingga mampu membuat air mata jatuh tanpa disadari. Deru Sunyi tahu bagaimana menggunakan kesunyian sebagai kekuatan naratif. Tidak semua rasa harus diteriakkan; kadang, yang paling menyentuh justru adalah yang diucapkan dengan suara pelan.

Tema Universal tentang Kehilangan dan Pengharapan

Meskipun buku ini sangat personal, pesannya bersifat universal. Setiap orang pasti memiliki hubungan emosional dengan ibunya—baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada. Itulah sebabnya Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu terasa relevan bagi siapa pun. Buku ini tidak hanya tentang kehilangan seorang ibu, tetapi juga tentang kehilangan bagian dari diri sendiri ketika cinta dan dukungan itu tak lagi bisa dirasakan secara fisik.

Namun, di balik kesedihan yang pekat, Deru Sunyi tetap menyelipkan harapan. Ia menulis bukan untuk meratapi, melainkan untuk mengingatkan bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang. Bahkan ketika ibu sudah pergi, cintanya tetap hidup dalam doa, kenangan, dan nilai-nilai yang tertanam dalam diri anaknya. Buku ini menjadi pengingat lembut bahwa kehilangan tidak selalu berarti akhir, tetapi bentuk lain dari keberadaan yang abadi.

Pesan tentang Kerapuhan dan Kekuatan

Deru Sunyi tidak menggambarkan kekuatan sebagai ketegaran tanpa air mata. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati justru lahir dari keberanian untuk mengakui rapuh. Dalam tulisannya, ia tidak berusaha menjadi pahlawan, melainkan manusia biasa yang mencoba bertahan di tengah badai kehidupan.

Ia juga menekankan bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, menangis, atau bahkan menyerah sejenak. Asalkan kamu tidak berhenti sepenuhnya. Karena, seperti yang ia tulis, selama masih ada cinta dari ibu—baik dalam bentuk kehadiran maupun kenangan—selalu ada alasan untuk kembali bangkit. Buku ini mengajarkan bahwa rapuh bukan berarti kalah, melainkan bagian alami dari menjadi manusia.

Struktur Buku yang Hangat dan Intim

Dengan tebal 187 halaman, Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu dibagi menjadi beberapa bab pendek yang terasa seperti potongan hati penulis. Setiap bab membawa nuansa yang berbeda—ada yang penuh duka, ada yang penuh nostalgia, dan ada pula yang terasa seperti doa panjang untuk sang ibu.

Struktur buku ini membuat pembaca mudah larut dalam suasana. Kamu tidak perlu membaca dari awal hingga akhir secara berurutan; setiap bab bisa berdiri sendiri, namun tetap terikat dalam satu benang merah yang sama: cinta seorang anak kepada ibunya. Format seperti ini membuat buku terasa sangat personal, seolah kamu sedang membaca surat yang ditulis khusus untukmu.

Pengaruh Emosional bagi Pembaca

Setelah membaca buku ini, kamu mungkin akan merasa hening. Ada rasa sedih, tetapi juga hangat yang sulit dijelaskan. Deru Sunyi berhasil menyentuh lapisan terdalam dari hati pembaca—membangkitkan kenangan akan pelukan, senyum, dan suara lembut seorang ibu. Buku ini bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang bagaimana cinta seorang ibu mampu menyembuhkan bahkan ketika dunia terasa memusuhi.

Banyak pembaca yang mengaku menangis saat membaca bagian-bagian tertentu. Namun, bukan tangisan putus asa, melainkan tangisan yang menyembuhkan. Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu memberi ruang bagi setiap orang untuk berdamai dengan perasaan yang selama ini mungkin dipendam terlalu lama.

Nilai Kehidupan yang Bisa Diambil

Dari buku ini, kamu akan belajar bahwa tidak semua pertempuran harus dimenangkan, dan tidak semua luka harus disembunyikan. Ada kekuatan dalam kejujuran dan kerendahan hati. Kamu juga akan menyadari bahwa cinta seorang ibu adalah fondasi yang membentuk siapa dirimu hari ini.

Deru Sunyi seolah ingin mengatakan bahwa sesulit apa pun hidup ini, selama kamu masih mengingat ibu dan doanya, kamu tidak akan benar-benar kehilangan arah. Cinta seorang ibu adalah kompas yang selalu mengarah pada pulang. Buku ini adalah pengingat agar kamu tidak lupa bersyukur selagi masih bisa memeluk dan berkata, “Aku sayang Ibu.”

Kesimpulan

Semua Boleh Pergi Kecuali Ibu karya Deru Sunyi adalah buku yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menyembuhkan jiwa. Dengan gaya penulisan yang puitis, jujur, dan sarat makna, buku ini menjadi refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, dan kekuatan untuk bertahan.

Buku ini cocok untuk kamu yang sedang merindukan seseorang, merasa kehilangan arah, atau hanya ingin diingatkan bahwa cinta sejati masih ada di dunia ini dan ia bernama “ibu”. Setelah menutup halaman terakhir, kamu akan menyadari satu hal: di dunia yang serba sementara ini, kasih ibu adalah satu-satunya yang abadi. Semua boleh pergi, tapi ibu selalu tinggal dalam hati.

Post a Comment

0 Comments